Kereta tiba-tiba berhenti di Alphen Aan De Rijn, stasiun sebelum stasiun tujuan saya. Lalu ada pengumuman bahwa penumpang harus turun sebab kereta tak akan berlanjut ke stasiun destinasi. Saya pikir kerusakan pada rel, salju yang menumpuk (tapi di luar hari tengah tak bersalju), atau masalah teknis lainnya menjadi biangnya. Di samping saya, seorang penumpang menggeliat bangun dari tidurnya saat pengumuman berkumandang.
Kepada kondektur yang kebetulan lewat saya bertanya. Jawabannya membuat saya tercekat. Kereta berhenti sebab ada kecelakaan. Seseorang memilih melompat ke rel kereta yang tengah melaju kencang , katanya, seraya sibuk dengan PDA di tangannya.
Saya membayangkan potongan-potongan tubuh berai di sekitar rel. Dan meski si kondektur tak berkata demikian, saya mafhum ia tengah bicara tentang bunuh diri.
Mungkin karena bulan januari ini, saya mengingatkan diri sendiri. Konon depresi cenderung menyerang saat musim dingin tengah mencapai puncaknya. Terang yang singkat, cuaca dingin, irama biologis yang terganggu membuat orang cenderung mendapatkan gangguan afek. Dalam dunia medis ini disebut sebagai Seasonal Affective Disorder atau gangguan afek musiman. Akibat serius dari gangguan afek musiman ini adalah depresi maha berat dan timbulnya keinginan bunuh diri.
Sayabergegas turun dari kereta menuju stasiun bis. Pihak NS (perusahaan kereta api Belanda) telah menyediakan bis gratis untuk penumpang yang terlantar. Jadi tak perlu cemas,hibur saya pada diri sendiri, saya masih bisa tiba di rumah, dan hanya sedikit telat.
Kebanyakan Pria
Pusat data statistik Belanda mencatat kasus bunuh diri di Belanda mengalami penurunan yang tajam. Di tahun 2008 Sebanyak 1353 kasus terekam, menurun sekitar 11 persen dibanding tahun 2006. Di tahun 2006 juga di tahun sebelumnya kasus bunuh diri berkisar di angka 1500-an. Dibanding dengan negara-negara Eropa lainnya Belanda mencatat posisi yang cukup baik, ke-8 terendah setelah Yunani, Malta, Albania, Italia, Inggris, Spanyol dan Makedonia.
Khusus untuk kasus bunuh diri dengan kereta. Sebuah penelitian menyimpulkan, di Belanda separuh mereka yang melakukan bunuh diri di rel kereta api punya catatan medik terkait dengan gangguan kejiwaan. Dan dari sekian banyak cara mengakhiri hidup, rel kereta api menjadi ajang yang cukup populer. Penelitian Houwelingen dan Kerkhof di tahun 2008 mengungkapkan, Tercatat 12 persen peminat bunuh diri di rel kereta api, sementara menggantung diri masih menjadi modus operandi yang paling diminati.
Saya pikir mungkin karena di Belanda gedung-gedung tinggi tak begitu banyak dan tak begitu tinggi pula, melompat dan gedung tinggi jarang terpilih, dan opsi menabrakkan diri ke kereta api menjadi pilihan yang ‘cukup menarik’. Yang menjadi masalah adalah menabrakkan diri ke kereta api tak hanya menyusahkan segelintir orang (dalam hal ini pihak keluarga yang berduka), melainkan banyak orang. Mulai dari petugas jawatan kereta api yang harus membersihkan kembali tempat kejadian perkara, jadwal kereta yang terbengkalai, penumpang yang terlantar, sekian banyak janji pertemuan yang tertunda, sekian jam perusahaan yang terbuang percuma, produktifitas yang tersia-sia, dan banyak lagi.
Beragamnya pilihan bunuh diri melahirkan dugaan adanya kemungkinan keterkaitan antara jenis gangguan kejiwaan dan preferensi cara bunuh diri. Huisman, Houwelingen dan Kerkhoff mendukung dugaan ini. Menurut mereka, pilihan bunuh diri yang cenderung spontan, melompat dari gedung tinggi semisal, biasanya digunakan oleh mereka yang mengidap gangguan psikotik. Sedangkan untuk kasus bunuh diri dengan kereta api, bergantung pada faktor kedekatan dan kemudahan akses ke rel kereta api.
Menurut mereka pula, lelaki cenderung memilih modus operandi berupa tindak kekerasan (menggantung diri, melompat, menabrakkan diri ke rel kereta api), sementara perempuan memilih jalan yang lebih ‘tenang’ dan ‘tanpa kekerasan’, seperti meracuni diri, atau menenggak obat penenang dengan dosis berlebih.
Dengan kekerasan atau tidak, keduanya berakhir pada ujung yang sama: kematian dan nestapa bagi yang ditinggalkan.
Kembali ke kasus bunuh diri di rel kereta api. Konon terhadap kasus bunuh diri di rel kereta api, pihak terkait memeberikan perlakuan yang sama dengan teror ancaman. Jadi area perlu ‘disterilkan’. TKP dilindungi, saksi mata mungkin akan ditanyai satu persatu. Dan sebagainya dan sebagainya. Sangat merepotkan. Dan tentu saja menyita waktu dan tenaga.
Membebaskan Diri Berjamah
Bagi saya pribadi kasus bunuh diri atau setidaknya percobaan bunuh diri menjadi karib sejak dua tahun terakhir. Hanya beberapa bulan yang lalu seorang keluarga dekat melakukan percobaan bunuh diri. Beruntung ia lolos meski sempat koma tiga malam. Tiga malam yang buruk dalam hidup saya. Dengan riwayat schizophrenia dan bahkan satu percobaan bunuh diri sebelumnya, semestinya ini sudah jadi peringatan bagi keluarga saya.
Yang kedua menimpa teman dekat saya. Kawan dari teman dekat saya juga telah menempuh jalan bunuh diri dan berhasil dengan cara yang bagi saya amat aneh. Sekaligus memilukan. Kawannya itu, mendaftarkan diri pada sebuah situs yang menawarkan advis bagis siapa pun yang berminat bunuh diri atau dalam istilah mereka ‘membebaskan diri’. Tak hanya itu, situs ini juga menawarkan ‘teman seperjalanan’, dengan cara menghimpun mereka, kandidat pelaku bunuh diri, yang hendak menempuh cara yang sama menuju kematian.
Kawan pria dari teman saya yang Belanda itu mendapatkan ‘jodoh teman seperjalanan’ di Amerika. Berangkatlah ia ke sana. Dan bersama dengan teman seperjalanannya itu (yang kebetulan perempuan) ia menghabiskan nyawanya sendiri, dengan sepucuk pistol, setelah temannya terlebih dahulu meletupkan peluru di kepala. Saya ingat, saat teman saya menceritakan hal itu, saya sempat terguncang hingga berhari-hari. Saya tak tega membayangkan perasaan orang tua si korban saat menjemput peti mati si anak di bandara.
Pikir saya, menempuh perjalanan yang jauh hanya dengan satu tekad: mengakhiri hidup secara berjamaah. Tiba-tiba saya teringat pada Jim Jones dan jemaahnya.
Saat menyiapkan makan malam, saya tiba-tiba terpikir. Bagaimana seandainya beban hidup saya demikian berat, saya lalu gelap mata dan memutuskan bunuh diri. Di hadapan wajan yang menggelegak, selama sekian detik saya tercenung. Lalu mendadak geli sendiri. Boro-boro bunuh diri, terhadap wajan panas saja saya masih gentar. Saat itu kedua belah tangan saya terbungkus rapi sarung penahan panas.
Penduduk Satu Kota
Bunuh diri telah menjadi masalah kesehatan tersendiri. Di dunia, bunuh diri menempati peringkat ketiga penyebab kematian terbesar pada kelompok umur 15 sampai 44 tahun. WHO dalam program SUPRE (Suicide Prevention) menggarisbawahi perbedaan motivasi bunuh diri antara penduduk Eropa dan Asia. Di Eropa negara Eropa Timur semacam Lithuania dan negara-negara persemakmuran Rusia menyumbang rekor sebagai negara dengan insiden terbanyak, dengan angka 40 per seratus ribu penduduk sebagai data terkini. Di Asia, Jepang, Cina dan India bersama-sama menyumbang sepertiga angka kematian bunuh diri di seluruh dunia. Jika di Eropa faktor resiko utama untuk bunuh diri adalah gangguan kejiwaan dan penyalahgunaan alkohol, di Asia faktor impulsif kompleks memegang peranan penting.
Secara keseluruhan, setiap tahunnya hampir sejuta orang mengakhiri hidup dengan melakukan bunuh diri. Sebagai gambaran dan untuk membuatnya lebih mudah dan dramatis, bayangkanlah satu kota, Amsterdam semisal (penduduknya tak sampai sejuta), yang seluruh penduduknya musnah karena bunuh diri. Ini terjadi hanya dalam hitungan waktu setahun. Fakta ini mencengangkan, dan kembali membuktikan masalah kesehatan mental selama ini teranaktirikan.
Setelah menemukan angka-angka di atas, saya bergidik saat menatap jam di dinding, mengikuti jarum detik yang merayap, tak kuasa mengusir bayangan bahwa setiap 40 detik seseorang di sudut bumi ini memilih secara sukarela untuk menjemput kematian, dengan caranya sendiri.
Kematian. Meski kita tahu ia mencintai kita dengan maha tulus, bukanlah tamu yang mesti dijemput dengan sukarela.*
Hari ini saya terlambat
Dua hari hari berikutnya. Di pagi hari dalam perjalanan ke kantor, saat masih didera kantuk oleh teve yang menyajikan debat parlemen hingga dini hari, lamat-lamat saya mendengar pengumuman dari spiker oleh masinis yang segera tenggelam oleh dengung keluh penumpang.
Terjadi lagi? Hanya selang sehari? Kali ini saya tak berupaya mencari kondektur untuk memastikan. Pengumuman yang menyebut door aanrijding met een persoon yang terdengar sayup-sayup tadi, sudah menjelaskan semua.
Saya bangkit. Mengusir sisa kantuk di pelupuk mata. Masih ada satu stasiun lagi sebelum saya tiba di kantor. Saya harus meninggalkan kereta, menuju ke peron lain, mencari kereta ke destinasi yang sama sekali tak saya mengerti dan berharap jadwal alternatif segera tersedia di telepon genggam saya. Bergegas pula saya menelepon kantor. “Halo, hari ini saya terlambat. Mungkin sejam, mungkin dua. Saya tak tahu pasti. Ada bunuh diri lagi di jalur kereta.…”
*dalam kelebatan ingatan terhadap puisi Aslan Abidin: Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian
Leave a comment